Yessi Pratiwi Surya Budhi
I Have My Say. What Is Yours?

'Dia'

By Yessi Pratiwi Surya Budhi



Kemudian Dia menghadirkan seseorang dalam hidupku. Tidak dipertemukan dengan sangat indah, biasa saja. Koq bisa? Mana aku tau. Aku bahkan tidak berencana. Setelah ini apa, aku juga tidak tau.
Teman-teman, aku punya ‘charger’ baru. Ada orang yang suka rela merecharge energiku dengan kasih. Life time warranty? Doakan saja. Mumpung masih muda, kita cari yang terbaik—buat kita. Semoga selalu ada kekuatan hati untuk berbagi...

 

Pasca Survey Telkom

By Yessi Pratiwi Surya Budhi

Memasuki minggu kedua saya Kerja Praktek di Telkom. Setelah kemarin kami mengadakan survey Brand Image produk-produk Telkom dan pemasangan billboard, gilirannya kami bertiga [saya, Ika, Harry] menyampaikan report kepada salah seorang pejabat yang berwenang disana, sebut saja Pak Tri.

Awalnya, pembicaraan hanya selingkup survey, merembet ke design iklan/ banner Flexy, dan akhirnya ke : “Kenapa mahasiswa ITB susah banget, mau pake Flexy?”

Kami pun menawarkan beberapa jawaban. Apa yang kami utarakan adalah refleksi keadaan, kebutuhan, dan faktor pendorong, mengapa anak-anak TI lebih banyak pake CDMA-nya Om Bakrie.

Jawaban kami ternyata membuat hati Pak Tri berkecamuk, satu hal yang saya tidak kira sebelumnya:
1. “Kamu pakai apa HPnya?” [Bakrie Telp, Indosat, Excelcomindo, Telkomsel, atau Tree]
2. “Berapa yang kamu habiskan buat beli pulsa?”
3. Kamu tau nggak, ******* punya siapa? Asumsikan sekian anak TI pake ******* dan semuanya ngabisin pulsa yang sama seperti kalian, kalian tau nggak, apa dampaknya bagi Negara?
4. Misalkan kalian pake *******. Sahamnya milik Singtel. Kalian tau nggak, income bulanan tersebut akan masuk sebesar 60 % ke Singapura. Negara harus membayarnya dalam bentuk kurs yang sama. Sehingga, semakin banyak keuntungan *******, semakin sedikit devisa Negara. Siapa yang menerima dampaknya? Rakyat.
5. “Nah, tau kan sekarang? Ayo coba pikirkan. Telkom perusahaan siapa? Negara. Telkom ini salah satu perusahaan kebanggaan kita loh. Telkom penyumbang pajak terbesar kepada Negara. Ya biarpun sebagian pajak yang dibayarkan Telkom pada Negara dikorupsi, ya itu juga mending. Karena korupsinya oleh Negara sendiri, bukan Negara lain.” [Saya baca di salah satu sumber, Telkom masuk dalam jajaran perusahaan paling pesat berkembang di dunia, di urutan-12].
6. "Makanya, kamu sebagai mahasiswa, pikirinlah apa yang bisa dilakukan. "

Setelah itu, saya nggak bisa ngomong lagi. Agak getir rasanya. Saya sendiri—seperti kabanyakan mahasiswa lain—selalu berfikir untuk menikmati yang termurah. Dengan beragam fitur dan kemudahan yang ditawarkan oleh provider HP, ada demokrasi dalam memilih operator yang menurut kita paling baik. Yang pakai Indosat bilang Indosat paling baik [Ingat iklannya? “Uuu.. seksi bangeet”], yang pakai Esia bilang Esia paling baik [walaupun katanya mereka tidak punya rencana untuk mengembangkan fitur internet atau menu GPRS], yang pakai Excelcomindo juga bilang Excel paling baik, berjiwa muda [bintang iklannya kan Peterpan & Ungu]. Semua kita lakukan juga tanpa embel-embel pikiran “bakal kemana ya, uang yang saya pake buat beli pulsa ini?” Asli. Saya aja nggak pernah kepikiran.

Anyway, mo dibawa kemana, postingan kali ini? Hmm.. point-point diatas, mungkin harus kita cross-check dulu kebenarannya. No hard Feeling buat teman yang sedang KP di Indosat. Yuk mari, saya bicara pada kapabilitas saya sebagai : Mahasiswa yang sedang Kerja Praktek dan harus memberikan report ke kampus. Dan kepada Negara, mungkin?

 

Jalan Dago Tadi Malam

By Yessi Pratiwi Surya Budhi

Tadi malam, saya melewati jalan Juanda-Dago. Ramai bener. Dari Circle-K depan BCA Consumer sampai Plaza Dago sekitarnya, motor-motor berderet di pinggir jalan, ada beberapa spanduk yang menandakan identitas gank motor mereka. Banyak pula mahasiswa yang ngamen dengan menghentikan kendaraan. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan rendah, karena jalanan memang penuh. Anak gaul Bandung. Menyembunyikan identitas di balik Nama Gank Motor. Nongkrong. Duduk berbaris di pinggir jalan. Padahal tanpa mereka pun, jalanan sudah ramai.

Umm..Seandainya mereka di rumah, duduk manis membahas soal SPMB atau mengembangkan bakat. Seandainya mereka memilih menemani keluarga menonton TV atau makan bersama. Mumpung mereka tidak indekos. Mumpung mereka dekat dengan keluarga….

Itu persepsi temporer. Karena setelahnya, ada ruang hati yang bicara. “Ah, itu kan refleksi kerinduanku pada keluarga? Tidak adil rasanya jika aku menyamaratakan isi otakku dengan mereka. Mungkin kehangatan yang mereka cari memang adanya disana. Toh kebahagiaan bagi setiap orang kan berbeda-beda jenis dan sumbernya. Mungkin satu saat, aku akan jadi bagian dari mereka. Mungkin juga tidak”

Tidak ada yang pasti. Apakah semua hal dalam hidup ini bisa menjadi hal yang relative?

 

Relatif

By Yessi Pratiwi Surya Budhi

Dua setengah tahun yang lalu. Harry mengajak saya makan di sebuah warung nasi goreng di Cisitu Indah. Katanya, “Nasi goreng disini enak. Elo harus nyoba!”. Benar saja. Nyam, nyam, nyam, nasi gorengnya memang enak.


Satu setengah tahun yang lalu. Harry mengajak saya makan nasi goreng lagi. Kali ini di daerah Dago atas, dekat Borma. Nyam nyam nyam. Saya rasa, nasi goreng yang ini lebih enak.


Delapan bulan yang lalu. Harry memperkenalkan saya pada sebuah warung nasi goreng lagi. Masih dekat Borma, tapi di sisi yang berbeda. “Nasi goreng special dua, Pak”, katanya ketika memesan. Pesanan pun datang. Nasi goreng disajikan dengan ati ampela, sosis, baso sapi, dan telur dadar. Kata Harry, nasi goreng ini yang paling enak. Tapi menurut saya, nasi goreng yang kedua yang paling enak. Selain bumbunya terasa, saya tidak suka nasi goreng yang terlalu banyak macam-macamnya, beda dengan Harry. Dia memang suka mencampur beberapa compliments dalam piring yang sama. Berarti : parameter kami beda variabel.


Seiring waktu, saya menemukan beberapa performansi nasi goreng yang berbeda. Seperti halnya saya menemukan hal baru dan baru lagi, yang membantu saya membandingkan beberapa hal dengan standar yang beralasan. Saat saya menemukan satu jenis nasi goreng yang baru, bisa jadi saya klaim, “Nasi goreng ini yang paling enak”. Namun, saat saya menemukan nasi goreng lain yang lebih enak, predikat itu mungkin berpindah subjek. Semakin banyak saya mencicipi nasi goreng, semakin banyak pembanding yang bisa saya ukur baik-buruknya, dan bisa jadi parameter yang saya gunakan berubah.
Engineer juga begitu. Dalam acceptance sampling, semakin banyak ukuran sample, semakin baik kualitas sample yang dihasilkan. Namun, ukuran sample banyak biasanya memakan biaya tinggi. Jadi, sepertinya memang ada hukum sebab akibat ya. Atau relativitas, mungkin? Nah, itu dia. Kita dituntut untuk berusaha lebih dan lebih lagi. Explore lebih banyak. Kalau bisa Belajar bahasa Prancis, kenapa puas dengan Bahasa Inggris? Kalau bisa jadi menteri, kenapa harus puas jadi rektor?


Dan pertanyaannya adalah : Apakah saya bisa bilang, pada dasarnya manusia menjadi tamak, karena seleksi alam? Sepertinya saya masih harus belajar menarik kesimpulan.