Bicara sinetron atau film, jelas saya bukan ahli yang punya parameter beragam dalam menilai. Saya—bisa dibilang adalah customer—yang kerjaannya adalah menikmati dan menilai saja.

Kalau sinetron atau film ini dianggap sebagai salah satu produk pasar, harusnya mereka dibuat sedemikian rupa, ada amanat atau tendens yang patut dijadikan pesan moral bagi masyarakat. Preferensi konsumen akan mengacu pada kualitas sinetron dan film itu sendiri.

Sayangnya, pasar sinetron dan perfilman di Indonesia justru tidak beranjak dari tempat yang itu-itu saja. Beberapa sangat didramatisir. Cerita dihadirkan dengan tidak masuk akal. Ada yang hidupnya senang terus-terusan, ada juga yang sedih ditindas terhina sepanjang hidup.

Kalau ratingnya tinggi, sinetron pun diperpanjang dengan ide cerita bermodus kematian, buta, hilang akal, dan ide cerita lain yang ber-pattern sama. Kalau satu film horor sukses, maka bermunculan lah film horor yang lain dan yang lain lagi. Tidak heran, film yang bertemakan horor semakin meng’horor’kan perfilman Indonesia. Semakin aneh lagi karena sinetron dan film ini masih ramai dibicarakan, pak produser pun semakin senang.








So, memang gak selamanya pasar memilih yang terbaik. Ups, terbaik? Menurut siapa dulu nih, ‘terbaik’nya? Terbaik buat Production House, atau buat masyarakat penikmat sinetron? Ya kita sajalah yang menilai. Kita konsumen, sebenarnya punya konstitusi untuk memilih yang terbaik. Mau enjoy aja, silahkan.. Mau geram sendiri, juga silahkan.. Habis mau digimanain? Itu pertanyaan retorisnya.

Saya sendiri, bisa juga koq enjoy dengan sisi positifnya. Sekedar cuci mata, menikmati akting aktris dan aktor yang sedap dipandang. Soalnya, mereka memang cantik-cantik dan ganteng-ganteng banget. Entah dapat darimana pak produsernya :)