Bersenjatakan dua gelas kopi malam tadi, saya telak terjaga semalaman. Niat mau mengerjakan sebuah deadline tugas antah berantah, Pemodelan namanya. Setelah minggu kemarin tewas tak berdaya gara-gara kelenjar (lagi), hutang pada teman kelompok kian menumpuk. Maafkan keabsenan saya, untuk Dia Yang Berkehendak.

Detik-detik sepi. Sejam dua jam. Menjelang Subuh, entah darimana bulir bening itu menetes. Membasahi pipi, jatuh ke lutut saya yang ditekuk menghadap meja komputer. Saya lupa kapan terakhir kali menangis, bahkan lupa caranya. Menertawakan kesusahan dan kesedihan sudah seperti opera rutin yang menggembirakan. Sudah, diam saja, nggak usah nangis. Stok airmata sudah habis.

Lantas, apa yang saya tangisi sekarang? Astaga, hidup saya sekarang benar-benar sempurna namun tidak bersyukur. Anggota tubuh lengkap dan tidak cacat, lupa bersyukur. Bangun setiap pagi masih hidup dan bisa menghirup pagi, lupa bersyukur. Diberi kesempatan mereguk cinta yang demikian indah, lupa bersyukur. Selalu merasa kurang dan kurang. Saya benar-benar gila untuk tidak punya otak dan menganggap anugerah gratis ini akan saya nikmati selama-lamanya, dalam limit tak hingga. Sementara hidup kita adalah cetakan limited edition yang bukannya menuntut pemborosan, tapi utilisasi.

Mungkin ini alasan mengapa saya tidak posting dan kehilangan inspirasi. Tidak tau apa yang bisa ditulis, sementara begitu banyak hal luar biasa yang dihadiahkan setiap harinya. Kurang bersyukurkah saya?

Mungkin prinsip “menjalani hidup dengan fun dan menjalaninya sebisa mungkin” harus diganti. Gantikan frase kedua dengan “mensyukurinya senikmat mungkin”.

Damn.
LEGA.
Tumpahlah semua airmata itu.


Makan nasi putih tempe tahu telor oseng pakai kecap yuk?